Jumat, 24 April 2015

Tugas psikologi social 2 (viraldo lopulalan , 19513165 , 2pa15 )

1.Contoh kasus social facilitation

Sudah hakikatnya bagi manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan dalam hidupnya, hanya saja terkadang suatu pekerjaan dirasa terlalu berat untuk dikerjakan seorang diri, karena itulah akhirnya pekerjaan tersebut dilakukan secara bersama-sama. Hal ini juga berlaku dalam perkuliahan, para mahasiswa sering diberikan tugas yang dikerjakan secara berkelompok, dengan tujuan untuk mempermudah mereka.Hal ini berkaitan dengan salah satu fungsi kelompok, yaitu membentuk kerjasama yang saling menguntungkan dalam mengatasi berbagai persoalan, dan memudahkan segala pekerjaan. Dan memang, kehadiran orang lain disekitar kita dapat menyebabkan peningkatan prestasi, hal ini disebabkan karena kecepatan reaksi tubuh meningkat jika ada orang-orang disekitar kita. Maka sebenarnya bisa saja disimpulkan kalau melakukan pekerjaan secara berkelompok, maka pekerjaan itu pasti akan lebih memuaskan, lebih cepat, dan lebih efisien, karena selain per-individu mengalami peningkatan prestasi, tetapi juga dikarenakan adanya pembagian tugas menyebabkan suatu tugas dapat selesai lebih cepat dan efisien. Dalam esai ini, saya akan membahas bahwa mengerjakan tugas berkelompok tidaklah lebih baik, mengerjakan tugas berkelompok juga terdapat kelemahannya.
Sebelum itu ada baiknya saya menjelaskan terlebih dahulu pengertian kelompok itu sendiri. Kelompok adalah kumpulan antara dua orang atau lebih, yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal. Kelompok adalah beberapa individu yang memiliki nilai, ide, dan kebiasaan yang sama antara satu dengan yang lainnya. Selain itu kelompok juga bisa berarti perkumpulan orang-orang yang berkaitan satu sama lain oleh beberapa kesamaan, dan juga kelompok berarti sesuatu yang nyata, kelompok bukan hanya sekedar sekumpulan orang2 yang memiliki ide2 yang sama, melainkan ia memiliki keunikan sendiri yang berbeda dengan individu2 yang membentuknya. Jadi dapat saya simpulkan bahwa kelompok adalah kumpulan dari beberapa orang, entah itu dua orang saja atau bahkan lebih, yang mana antara satu dengan yang lainnya memiliki beberapa kesamaan, baik itu dalam hal ide, hobi, kesenangan, atau kebiasaan. Tetapi patut untuk dicatat meskipun dibentuk oleh orang yang memiliki kesamaan, belum tentu kelompok akan memiliki ciri khas yang sama dengan individu yang membentuknya, kelompok tetap dapat dibedakan dengan individu yang membentuknya, karena kelompok pasti memiliki suatu keunikan yang tidak dimiliki oleh masing-masing anggotanya.
Mengerjakan tugas secara berkelompok banyak kegunaannya, seperti tugas menjadi lebih cepat dan efisien karena di dalam kelompok terdapat pembagian peran. Melalui perannya seseorang dapat mengetahui apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Karena setiap orang sudah mengetahui apa yang menjadi tugasnya, maka dia tentu akan mengerjakan tugasnya saja. Dan karena setiap orang memiliki peran yang berbeda-beda maka sudah tentu tugas yang akan dikerjakan berbeda-beda, dan dikarenakan setiap orang mengerjakan tugas yang berbeda-beda sudah tentu tidak akan terjadi tumpang tindih tugas dan secara tidak langsung hal tersebut akan menyebabkan tugas dapat terselesaikan lebih cepat dan efisien.
Kelompok juga memberikan efek Social Facilitation kepada anggotanya, yang akan menyebabkan seseorang menjadi lebih produktif dalam melakukan aktivitas. Social Facilitation pada dasarnya adalah meningkatnya kecepatan reaksi tubuh seseorang dikarenakan adanya kehadiran orang lain disekitar dia, dengan meningkatnya kecepatan reaksi maka sudah tentu produktivitas seseorang akan makin meningkat. Contoh Social Facilitation adalah seperti ini, pada pertandingan sepak bola sering disebutkan bahwa jika suatu tim bertanding di kandangnya sendiri, maka tim tersebut akan memperoleh keuntungan, karena mereka tampil di hadapan pendukung mereka sendiri, yang pasti akan memberikan dukungan kepada mereka. Hanya saja patut diperhatikan, kehadiran orang lain hanya akan memberikan efek peningkatan prestasi jika sesuatu yang dikerjakan seseorang, yang diamati oleh orang lain, itu sudah dikuasainya. Lain halnya jika yang dikerjakannya adalah sesuatu hal yang belum dikuasainya, maka yang ada justru penurunan prestasi.
Selain memberikan keutungan, kelompok juga memberikan kerugian, seperti sisi lain dari social facilitation yang bukannya menaikkan prestasi melainkan menurunkan prestasi. Selain itu, kelompok juga menyebabkan menurunnya motivasi dan usaha individu dalam melakukan sesuatu ketika melakukan suatu perkerjaan (Social Loafing), makin besar kelompoknya maka akan semakin kecil kontribusi yang akan diberikan tiap-tiap individu. Seperti pada eksperimen yang dilakukan oleh Latané, Williams, dan Harkins pada tahun 1979. Mereka meminta beberapa orang untuk bertepuk tangan dan berteriak secara bersama-sama dan kemudian sendiri-sendiri. Dan hasilnya menunjukkan adanya social loafing yaitu mereka bertepuk tangan dan berteriak lebih pelan ketika melakukannya bersama-sama.

Selain itu pada kelompok yang terlalu kohesif (kompak), waktu yang digunakan kebanyakan untuk bersenang-senang sehingga kelompok menjadi tidak produktif. Kelompok yang terlalu kompak menyebabkan mereka pasti akan melakukan kegiatan bersama-sama, sehingga ketika saatnya mereka kumpul untuk membahas tugas/pekerjaannya, mereka melakukan hal yang lain, karena mereka terbawa ketika mereka sedang bersama-sama melakukan hal yang lain. Kelompok yang terlalu kompak juga beresiko mengalami Group Think, yakni saat di mana terdapat anggapan keputusan yang mereka buat selalu benar sehingga semua anggota harus mendukungnya dan mengabaikan semua informasi yang bertentangan dengannya. Group Think terjadi karena begitu kompaknya suatu kelompok, menyebabkan ketika ketua kelompok menyuarakan pendapat, anggota yang lain langsung menyetujui tanpa mencoba untuk mencari informasi, pendapat lain yang lebih baik.
Selain itu suatu kelompok juga mungkin terkena Group Polarization.Group Polarization adalah saat dimana terdapat banyak pendapat dalam memecahkan masalah, kelompok cenderung untuk memilih pendapat yang lebih ekstrem dibandingkan dengan pendapat-pendapat individu dalam kelompok tersebut. Group Polarization lebih dikarenakan unsur konformitas, awalnya para anggota kelompok saling mengamati opini mereka, dan karena konformitas mereka bergerak ke posisi yang dianggap konsensus, biasanya pendapat yang diambil pada akhirnya lebih ekstrem, dan jika konsensus sudah dicapai maka pendapat minoritas akan ditekan agar mengikuti konsensus.
Kelompok memang memberikan banyak keuntungan, seperti tugas yang lebih cepat selesai, tugas yang harus dipikul setiap individu menjadi berkurang, pekerjaan menjadi lebih efisien, dll. Tetapi berkelompok pun banyak terdapat masalah seperti social loafing, yang menyebabkan kontribusi tiap-tiap individu menjadi lebih kecil dibandingkan ketika mereka melakukannya sendiri. Bahkan kelompok yang kompak pun, yang selama ini kita anggap tidak akan ada masalah di dalamnya, ternyata juga banyak mengalami masalah yang cukup mengganggu seperti group think. Maka dapat saya simpulkan bahwa sebenarnya mengerjakan tugas secara berkelompok tidaklah selalu yang terbaik, dalam berkelompok pun terdapat masalah yang menyebabkan hasil pekerjaan tidak memuaskan

2.contoh kasus social loafing

Pernahkah bertanya, Mengapa seringkali saat mendorong mobil secara berkelompok tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap berkurangnya beban mobil?, dan Mengapa beberapa orang malah seringkali tertangkap basah tidak bersungguh-sungguh mendorong mobilnya?. Fenomena ini biasa disebut sebagai Social Loafing. Social Loafing dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan Kemalasan Sosial, atauPenyandaran Sosial. Selain itu,  Social Loafing sendiri lebih dikenal sebagai fenomena hilangnya produktifitas (George, 1992, dalam Liden, dkk, 2004).
Menurut Reber & Reber (2010) Social Loafing adalah kecenderungan individu mereduksi upaya yang mereka lakukan terhadap sejumlah tugas ketika bekerja bersama dengan orang lain. Dan dalam website resmi Psycholoy.About.com, disebutkan Social Loafing adalah“..the tendency of individuals to put forth less effort when they are part of a group.”. Williams & Karau (1993) mengatakan bahwa Social Loafing adalah “..the reduction in motivation and effort when individuals work collectively compared with when they work individually or coactively.” Dengan beberapa hal diatas bisa dijelaskan (mengikuti Williams & Karau) Social Loafing adalah reduksi atas motivasi maupun usaha yang terjadi ketika individu bekerja secara bersama-sama ketimbang secara sendirian.
Linden,dkk (2004) menyebutkan ada beberapa istilah yang bisa menjadi penjelasan untuk mengawali pembahasan mengenai Social Loafing, yakni ;  Lack of identification of individual contributions to the group(Williams dkk, 1981); lack of challenge and uniqueness of individual contribution (Harkins & Petty, 1982); low intrinsic involvement (Brickner, Harkins& Ostrom, 1986; George, 1992); individualistic orientation (Wagner, 1995); low group cohesiveness (Karau & Williams, 1997); lack of peer appraisals (Druskat & Wolff, 1999).motivational (George, 1992; Sheppard, 1993; Wagner, 1995). Namun dalam tulisan ini akan disinggung beberapa saja.
Social Loafing terjadi karena motivasi yang hilang akibat dari proses evaluasi dan eliminasi mengenai kontribusi anggota dalam kelompok (Harkins, 1987; Harkins & Szymanski, 1989; Kerr & Bruun, 1983, dalam Williams & Karrau, 1991). Dalam kesebelasan sepakbola, seorang kiper yang tidak serius menjaga gawangnya sehingga menghasilkan banyak kebobolan seringkali menyebabkan pemain bertahan dan pemain menyerang menjadi tidak bersemangat dalam membangun pertahanan dan penyerangan. Kira-kira begitulah ilustrasi yang dimaksud dari teori pertama mengenai Social Loafing. saat seorang anggota menyadari bahwa lima dari tujuh partnernya didalam kelompok tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, dan kemudian dia menjadi ikut-ikutan untuk tidak terlalu memperdulikan gairah mengerjakan tugas maka terjadilah Social Loafing.
Apa kira-kira yang akan dirasakan oleh seseorang saat mengetahui bahwa ia mendapatkan bayaran yang sama dengan koleganya padahal ia sendiri mengerjakan tugas yang jauh lebih rumit daripada koleganya tersebut?. Jika yang muncul adalah kehilangan motivasi dalam bekerja dalam satu instansi akibat persoalan ini maka, Social Loafing telah terjadi (Brickner, Harkins, & Ostrom, 1986, dalam Williams & Karrau, 1991). Rasa malas bekerja dalam satu tim, dan bekerja seadanya saja tanpa bertindak yang lebih progresif, bisa jadi karena alasan ini. Dalam beberapa situasi penulis sangat merasakan hal ini. Beberapa dosen atau petugas fakultas mungkin sangat bergebu-gebu dalam menjalankan tugasnya. Bahkan jika ada tugas yang tidak sempat ia kerjakan, penyesalan akan selalu menghantuinya. Tapi berbeda dengan segelintir lainnya, yang tidak terlalu memperdulikan itu semua.
Social Loafing kadang-kadang juga muncul karena bawaan asumsi yang keliru. Beberapa anggota kelompok yang malas mengerjakan tugasnya bisa jadi karena pengaruh asumsi subjektif buruk mereka terhadap anggota lain. Misalkan si A menilai bahwa si B pasti tidak akan serius mengerjakan tugas, maka si A akan jadi terbawa malas mengerjakan tugas karena sadar dengan kecenderungan si B. Asusmi “Others in their Group Always Loafed” menjadi contoh dari sekian banyak asumsi yang muncul atas penilaian anggota kelompok mengenai kecenderungan peforma rekan sekelompoknya. Seorang teman pernah mengaku kepada penulis bahwa ia tidak akan pernah menyinggung waktu pembuatan tugas sebelum rekan satu kelompoknya yang mengawali. Alasannya karena ia sendiri trauma dengan sikap rekan-rekannya dalam satu kelompok yang cenderung seperti tidak memperdulikan tugas dan tidak mau berusaha. Disini terlihat bahwa asumsi juga ternyata bisa jadi merupakan bahan materi atas pengalaman sebelumnya. Maka benar jika kemudian Social Loafing dikaitkan dengan proses evaluatif seseorang atas apa yang bisa dikerjakan oleh rekan sekelompoknya berdasarkan pada pengalaman masa lalu.
Kejadian paling umum dari Social Loafing dalam kehidupan sehari-hari adalah saat dosen membagi kelas kedalam kelompok-kelompok presentasi. anggota kelompok yang cenderung untuk Social Loafing, bisa jadi karena dua hal; Pertama karena dalam satu kelompok semua adalah pemalas. Dan kedua karena dalam satu kelompok terdapat 1 atau 2 orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas tanpa harus melibatkan tenaga satu kelompok. Mendapatkan rekan pemalas dalam satu kelompok tidak bisa dibilang malapetaka, begitu juga sebaliknya. Dalam kasus ini ada variable-ketiga yang turut campur tangan, yakni Motivasi, Rutinitas diluar perkuliahan, Kepercayaan diri (mungkin pada lain tempat akan dijelaskan secara detil).
Penulis juga pernah mengalami secara langsung kasus dimana seorang rekan berkata “saya menjadi malas untuk bekerja dalam komunitas anda karena bagi saya komunitas anda cenderung lekat atau bahkan identik dengan nilai organisasi tertentu”. Tampaknya nilai-nilai yang dipegang oleh masing-masing anggota kelompok mempengaruhi Social Loafing. bila nilai-nilai yang dipegang berbeda maka bisa saja Social Loafing muncul. Setidaknya Social Loafing seperti pada fenomena psikologis lainnya tetap perlu dicermati secara kasuistik.
Social Loafing dan Kejengkelan atas Kinerja
Pada kenyataannya Social Loafing merupakan fenomena yang mungkin belum sempat diasosiasikan dengan term-term lain dalam tulisan ini. Tetapi perlu dipertegas kalau membahas mengenai Social Loafing, term-term seperti “kemalasan”, “kinerja”,  “tugas”, “produktifitas”, “kelompok”, “anggota”, “motivasi”, dlsb merupakan adonan wajib dalam tema ini.  Maka jangan bingung jika fenomena Social Loafing tiba-tiba dikontekskan kedalam term-term tersebut.
Tujuan pembuatan kelompok adalah untuk mempermudah menyelesaikan tugas. Namun akan sangat menjengkelkan jika terdapat beberapa anggota kelompok yang ternyata tidak ikut berpartisipasi dalam proses-proses kelompok. Maka dalam organisasi ada istilah tiga/empat orang adalah tim, selebihnya adalah penggembira. Mungkin tidak jadi masalah jika kelompok memiliki anggota malas, itu sudah biasa. Tetapi, lagi-lagi ini persoalannya tidak mudah. Saat anda dibayar untuk bekerja dalam satu kelompok, dan ada beberapa anggota yang malas anda akan dituntut, jika kinerja tidak maksimal.
Contoh sederhana lainnya, pernah anda melihat anggota DPR yang tertidur?. Apakah itu bisa disebut Social Loafing?. jawaban penulis adalah bisa!. DPR adalah kelompok dengan segala regulasinya mereka harus bekerja dalam satu komisi. Jika mengasumsikan anggota DPR yang tertidur dengan ketidakpedulian atas situasi yang sedang terjadi dan menyerahkan tanggungjawab kepada anggota lain, maka itulah Social Loafing. rekan satu kelompok yang tidak memiliki kepedulian dan tanggungjawab bisa disebut sebagai penderita Social Loafing.
Social Loafing adalah sebuah “Penyakit”
Social Loafing adalah Social Disorder, atau gangguan sosial. Social Loafing bukan lagi sekedar karena kecenderungan orientasi individualistik yang berlebihan melainkan pengabaian yang besar atas tanggungjawab dalam kelompok. Selain itu pelaku kemalasan Sosial merasa tidak bersalah meski ia sudah menyalahi regulasi-regulasi dalam kelompok. Salah-satu regulasi yang paling rasional menjadi alasan ketidaknormalan pelaku Social Loafing adalah masalah Reward.
Anggota kelompok yang benar-benar menjalankan tugas tetap saja mendapatkan reward yang sama dengan anggota kelompok lainnya yang malas. Tetapi harus disepakati dahulu bahwa Social Loafing harus diidentifikasi sedemikian rupa sehingga mendeskripsikannya sebagai sebuah penyakit menjadi objektif.
Menurut penulis ada sejumlah besar karakteristik dari Social Loafing yang masuk pada kategori Penyakit:
1.Pelaku Social Loafing menyadari betul bahwa ia memiliki tanggungjawab dalam kelompok tapi lebih memilih untuk mengabaikan dengan alasan yang tidak penting.
2.Pelaku Social Loafing menyadari bahwa rekan sekelompoknya telah dan sedang berusaha keras menyelesaikan tugas kelompok.
3.Pelaku Social Loafing tidak mampu berkontribusi dengan alternatif lain dalam bentuk apapun, semisal empati, simpati, pujian, dukungan moril, dlsb.
Berdasarkan pada karakteristik diatas, memang ada beberapa Social Loafing yang tidak masuk pada kategori ini. Oleh karenanya meninjau fenomena ini secara kasuistik merupakan pilihan terbaik.
Social Loafing, Kemalasan
Manusia memiliki potensi untuk menjadi pemalas, dalam konteks Social Loafing mereka tidak sekedar pemalas tapi lebih dari itu. Pengabaian yang luar biasa atas situasi kelompok menjadikan ini terlihat bukan sekedar pemalas. Pemalas kehilangan motivasi, pemalas kehilangan produktifitas.

3.Contoh kasus Deindinduasi

Deindividuasi adalah adalah suatu proses hilangnya kesadaran individu karena melebur di dalam kelompok atau bisa dikatakan sebagai pikiran kolektif.
Deindividuasi (Diener : 1980), yaitu merupakan penggantian identitas pribadi oleh identitas kelompok. Mencakup atas hilangnya tanggung jawab pribadi dan meningkatnya kepekaan atas tindakan kelompok.
deindividuasi adalah keadaan hilangnya kesadaran akan diri sendiri (self awareness) dan pengertian evaluatif terhadap diri sendiri (evaluation apprehension) dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas dan mengalihkan atau menjauhkan perhatian dari individu
Jadi dapat dikatakan Deindividuasi itu adalah proses hilangnya kesadaran suatu individu karena pengaruh dari suatu kelompok dan membentuk suatu pemikiran kolektif..
Contoh kasus :
Tawuran yang sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama oleh para pelajar seolah sudah tidak lagi menjadi pemberitaan dan pembicaraan yang asing lagi ditelinga kita. Inilah beberapa contoh yang bisa kita kemukakan sebagai bukti terjadinya tawuran yang dilakukan oleh para remaja beberapa tahun lalu. Dalam hal tawuran, di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tingkat tawuran antar pelajar sudah mencapai ambang yang cukup memprihatinkan. Data di Jakarta misalnya (Bimmas Polri Metro Jaya), tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas. Terlihat dari tahun ke tahun jumlah perkelahian dan korban cenderung meningkat. Bahkan sering tercatat, dalam satu hari di Jakarta terdapat sampai tiga kasus perkelahian di tiga tempat sekaligus (www.smu-net. com).
Fenomena tawuran yang terjadi di Indonesia beberapa pekan terakhir membuka mata kita kembali akan maraknya kekerasan dalam pergaulan sosial remaja pelajar Indonesia yang lama sempat tengelam ditengah hiruk pikuk carut marut pendidikan nasional. Bila dicermati, respon masyarakat awam maupun kalangan pendidikan terhadap fenomena tawuran selalu saja mengkambinghitamkan problem-problem sosial di luar sekolah yang mempengaruhi pembentukan perilaku negatif pelajar. Disinilah letak penyimpangan intepretasi sosial yang terkadang mewujud kepada penanganan yang selama ini terbukti tidak efektif mengurangi angka kejadian tawuran pelajar di Indonesia. Seorang Psikolog tersohor, Maslow, mengkategorikan beberapa motif perilaku kepada bangunan piramida motivasi manusia. Dalam teori motivasinya, Maslow menyebutkan bahwa salah satu motivasi tindakan manusia adalah untuk memperoleh pengakuan eksistensial dari sesamanya. Disinilah titik penting yang sering terlepas dari kesadaran kritis kita dalam menyoroti fenomena tawuran antar pelajar selama ini.
Pelajar adalah manusia yang hidup dalam situasi transisi antara dunia anak menuju dewasa. Disinilah ruang dimana seorang manusia remaja mulai menyadari kebutuhan-kebutuhan sosialnya untuk diterima sekaligus diakui oleh komunitas masyarakat disekitarnya. Ruang baru yang mereka huni tersebut terkadang menuntut hadirnya kultur solidaritas yang dalam beberapa kasus, bukan tidak mungkin, menyimpang menjadi sebuah sikap fanatisme dan vandalisme. Inilah mengapa kemunculan fenomena tawuran selalu diwarnai dengan kehadiran kelompok-kelompok vandalistik (baca: gank) yang biasanya mengundang perasaan-perasaan fanatisme berlebih dari setiap anggotanya.
Banyak sekali alasan yang bisa menjadikan tawuran antar-pelajar terjadi. Pelajar sering kali tawuran hanya karena masalah sepele, seperti saling ejek, berpapasan di bus, pentas seni, atau pertandingan sepak bola. Bahkan, yang baru terjadi awal bulan ini, tawuran dipicu saling ejek di Facebook, yang kemudian sampai menyebabkan nyawa seorang pelajar melayang. Padahal, jejaring sosial, kan, hanya untuk having fun, bukan untuk menjadi pemicu tawuran.
Tak jarang disebabkan oleh hanya saling menatap antar sesama pelajar yang berbeda sekolahan. Bahkan saling rebutan wanita pun bisa menjadi pemicu tawuran. Dan masih banyak lagi sebab-sebab lainnya. Selain alasan-alasan yang spontan, ada juga tawuran antar-pelajar yang sudah menjadi tradisi.
Dari jajak pendapat Kompas pada bulan Oktober, dengan responden di 12 kota di Indonesia, diketahui sebanyak 17,5 persen responden mengakui bahwa saat dia bersekolah SMA, sekolahnya pernah terlibat tawuran antar-pelajar. Tidak sedikit pula responden atau keluarga responden yang mengaku pada masa bersekolah terlibat tawuran atau perkelahian massal pelajar. Jumlahnya mencapai 6,6 persen atau sekitar 29 responden.
Di antara pelajar laki-laki, tawuran seperti sudah menjadi tradisi yang harus dilakukan. Kalau enggak tawuran, enggak jantan, enggak keren, enggak mengikuti perkembangan zaman, atau banyak lagi anggapan lain.
Dosen Psikologi Universitas Indonesia, Winarini Wilman, dalam diskusi bersama Litbang Kompas, bulan lalu, mengatakan, fenomena tawuran pelajar di Jakarta sudah terjadi selama puluhan tahun. Dari kacamata psikologis, ujar Winarini, tawuran merupakan perilaku kelompok. Ada sejarah, tradisi, dan cap yang lama melekat pada satu sekolah yang lalu terindoktrinasi dari siswa senior kepada yuniornya.
Tawuran lebih sering terjadi di jalanan, jauh dari sekolah. Tawuran juga sering kali terjadi di titik yang sama dan waktu yang sama. Aparat keamanan pun sering berjaga di titik tersebut, tetapi siswa yang hendak tawuran selalu bisa mencari cara untuk tetap tawuran.
Dalam penelitian untuk disertasi berjudul ”Student Involvement in Tawuran: A Social-psychological Interpretation of Intergroup Fighting among Male High School Students in Jakarta”, tahun 1996-1997, Winarini menemukan adanya fenomena barisan siswa (basis) yang terdiri atas 10-40 siswa. Mereka bersama-sama pergi dan pulang sekolah naik bus umum. Basis itu terbentuk berdasarkan keyakinan bahwa mereka akan diserang oleh sekolah musuh bebuyutan mereka



0 komentar:

Posting Komentar